Dulu, menulis adalah pelarianku. Saat dunia terasa terlalu bising, aku bisa duduk di depan laptop ataupun rebahan sambil menuangkan resah ke dalam note app ponsel pintar. Kemudian kata-kata mengalir deras seperti air terjun.
Tapi sekarang?
Aku hanya menatap layar kosong, kursor berkedip-kedip seolah mengejek seolah berkata "Kapan terakhir kali kamu menulis sesuatu yang berarti?"
Nahasnya aku tak tahu jawabannya.
![]() |
Cara Menulis Kutipan Sesuai Kaidah Penulisan |
Rutinitas yang Menghisap Energi ;
Pagi dimulai dengan alarm yang berdering pukul 4.30. Mandi, sarapan, lalu bergegas ke kantor. Pulang jam 5.30 sore, badan pegal, otak seperti bubur."Nanti malam aku akan menulis," janjiku pada diri sendiri. Tapi apa yang terjadi?
Aku tertidur sambil memegang gawai yang sedang dihiasi konten instagram.
Rutinitas ini seperti treadmill: terus berjalan, tapi tak pernah maju. Aku terjebak dalam siklus work-eat-sleep-repeat.
Menulis? Itu jadi barang mewah yang tak terjangkau. MenyedihkanSelalu ada cara buatku untuk menyalahkan situasi.
Dulu ketika sedang sibuk menyiapkan diri untuk mempresentasikan tugas akhir, aku berjanji bahwa tulisan selanjutkan akan ada sekitar dua minggu setelahnyaTapi apa?
Tidak ada karya yang tercipta. Dan di tengah semua itu, aku harus tetap tersenyum di kantor, seolah semuanya baik-baik saja.
Menulis butuh energi mental. Tapi bagaimana bisa aku menulis, ketika pikiran dipenuhi kekhawatiran?Setiap kali mencoba, yang muncul hanya kalimat-kalimat patah "Aku lelah. Aku tak tahu harus mulai dari mana. Aku..." ;
Kehilangan Inspirasi
Dulu, aku bisa menulis tentang apa saja: hujan yang menghiasi angkasa, senyum anak penjaja makanan di pinggir jalan, atau rasa kopi yang terlalu pahit.
Sekarang, semuanya terasa datar. Aku mencoba membaca buku, menonton film, bahkan jalan-jalan ke taman. Tapi tak ada yang memicu gairah.
"Apakah ini yang disebut writer's block? Atau jangan-jangan, aku sudah kehilangan kepekaan terhadap dunia?"
Distraksi Teknologi
Aku sering menyalahkan media sosial. Scroll-scroll Instagram, TikTok, atau Twitter menghabiskan waktu yang seharusnya bisa kugunakan untuk menulis.
Tapi sebenarnya, aku tahu ini bukan salah mereka.
Ini salahku. Aku memilih distraction karena menulis terasa terlalu berat. Lebih mudah menonton video kucing lucu daripada menghadapi layar kosong yang menuntut isi.
Keraguan yang Menggerogoti
"Untuk apa menulis? Siapa yang akan baca?"
Pertanyaan itu terus menghantuiku. Dulu, aku menulis untuk diri sendiri. Tapi sekarang, aku terjebak dalam ekspektasi: harus viral, harus sempurna, harus sesuai selera pasar. ;Aku lupa bahwa menulis seharusnya tentang kebebasan, bukan beban.
Mencari Jalan Kembali
Pada akhirnya memang aku harus segera kembali memulai. Tentu tidak seproduktif dulu, tetapi cukup membiasakan diri untuk menulis apapun itu selama 5 menit.Aku juga harus membaca tulisan lamaku, sambil mengingat begitu lihainya tangan ini mengetik kata demi kata.
Tak lupa aku juga akan belajar memaafkan diri sendiri. Bahwa tidak apa-apa untuk berhenti sejenak. Bahwa menulis bukanlah lomba, tapi perjalanan.
Dan ini bukanlah akhir. Ini hanya jeda. Seperti musim dingin yang harus dilalui sebelum bunga-bunga bermekaran lagi. ;Aku percaya, suatu hari nanti, kata-kata akan mengalir lagi.
Dan saat itu tiba, aku akan siap menyambutnya dengan tangan terbuka. ;Sampai saat itu, aku akan terus berjalan. Meski perlahan.
Posting Komentar