dXs23szHnl7KF4gOVMjF7Fhen0DwQwMxHwctoC4h
Bookmark

Cerpen Waktu Nyala Karya Djenar Maesa Ayu

Nayla melirik arloji di tangan kanannya. Baru jam lima petang. Namun langit begitu hitam. Matahari sudah lama tenggelam. Ia menjadi muram seperti cahaya bulan yang bersinar suram. Hatinya dirundung kecemasan.

Apakah jam tangannya mati? Lalu jam berapa sebenarnya sekarang? Nayla memeriksa jam di mobilnya. Juga jam lima petang. Ia memijit nomor satu nol tiga. Terdengar suara rekaman operator dari seberang, “Waktu menunjukkan pukul tujuh belas, nol menit, dan dua puluh tiga detik”.

Lalu manakah yang lebih benar. Penunjuk waktu atau gejala alam?

Cerpen Waktu Nyala Karya Djenar Maesa Ayu
Cerpen Waktu Nyala Karya Djenar Maesa Ayu

Nayla menambah kecepatan laju mobilnya. Kemudi di tangannya terasa licin dan lembap akibat telapak tangannya yang mulai basah berkeringat. Ia harus menemukan seseorang untuk memberinya informasi waktu yang tepat.

Tapi jika Nayla berhenti dan bertanya, berarti ia akan kehilangan waktu. Sementara masih begitu jauh jarak yang harus dilampaui untuk mencapai tujuan. Nayla sangat tidak ingin kehilangan waktu.

Seperti juga ia tidak ingin kehilangan kesempatan untuk melakukan banyak hal yang belum sempat ia kerjakan. Namun Nayla pada akhirnya menyerah. Ia menepi ke dekat segerombolan anak-anak muda yang sedang nongkrong di depan warung rokok dan menanyakan jam kepada mereka.

Tapi seperti yang sudah Nayla ramalkan sebelumnya, jawaban mereka adalah sama, jam lima petang. Hanya ada sedikit perbedaan pada menit. Ada yang mengatakan jam lima lewat lima, jam lima lewat tiga dan jam lima lewat tujuh.

Nayla semakin menyesal telah membuang waktu untuk sebuah pertanyaan konyol yang sudah ia yakini jawabannya, yaitu, jam lima petang. Berarti benar ia masih punya banyak waktu.

Sebelum jam tangannya berubah jadi sapu, mobil sedannya berubah jadi labu, dan dirinya berubah menjadi abu.


Entah kapan persisnya Nayla mulai tidak bersahabat dengan waktu. Waktu bagaikan seorang pembunuh yang selalu membuntuti dan mengintai dalam kegelapan. Siap menghunuskan pisau ke dadanya yang berdebar.

Debaran yang sudah pernah ia lupakan rasanya. Debaran yang satu tahun lalu menyapanya dan mengulurkan persahabatan abadi, hampir abadi, sampai ketika sang pembunuh tiba-tiba muncul dengan sebilah belati.

Sebelumnya Nayla begitu akrab dengan waktu. Ketika cincin melingkar agung di jari manisnya. Ketika tendangan halus menghentak dinding perutnya. Menyusui. Memandikan bayi.

Bercinta di malam hari. Menyiapkan sarapan pagi-pagi sekali. Rekreasi. Mengantar anak ke sekolah. Membantu mengerjakan pekerjaan rumah. Memarahi pembantu. Membuka album foto yang berdebu.

Mengiris wortel. Pergi ke dokter. Menelepon teman-teman. Berdoa di dalam kegelapan. Doa syukur atas kehidupan yang nyaris sempurna. Kehidupan yang selama ini ia idam-idamkan.

Kala itu, waktu adalah pelengkap, sebuah sarana. Mempermudah kegiatannya sehari-hari. Menuntunnya jadi roda kebahagiaan keluarga. Mengingatkan kapan saatnya menabur bunga di makam orangtua, kakek, nenek dan leluhur.

Membeli hadiah Natal, ulang tahun dan hari kasih sayang. Mengirim SMS kepada si pencari nafkah supaya tidak terlambat makan. Memperkirakan lauk apa yang lebih mudah dimasak supaya tidak terlambat menjemput anak di tempat les.

Bercinta berdasarkan sistem kalender, kapan sperma baik untuk dimasukkan dan kapan lebih baik dikeluarkan di luar. Waktu bukanlah sesuatu yang patut diresahkan.

Karena waktu yang berjalan, hanyalah roda yang berputar tiga ribu enam ratus detik kali dua puluh empat jam. Gerakan mekanis rutinitas kehidupan. Menggelinding di jalan bebas hambatan.

Sementara banyak yang sudah terlupakan. Suara mesin tik membahana dalam kamar yang lengang. Riuh rendah suara karyawan di kafetaria gedung perkantoran. Ngeceng di Plaza Senayan. Mengeluh kepada sahabat tentang cinta yang bertepuk sebelah tangan.

Menampar pipi laki-laki kurang ajar di diskotek. Menghapus air mata yang menitik. Melamun. Membaca stensilan. Makan nasi goreng kambing ramai-ramai dalam mobil di pinggir jalan. Masak Indomie rebus rasa kari ayam. Menatap matahari terbenam.

Nonton Formula One atau Piala Dunia di Sports Bar. Menatap mata kekasih dengan berbinar-binar. Bersentuhan tangan ketika memasangkan serbet di paha kekasih dengan tangan bergetar. Menanti dering telepon dengan hati berdebar.

Memilih kartu ucapan rindu yang tidak terlalu norak tanpa lebih dulu menunggu hari besar datang dengan dada berdebar. Memilih baju terbaik setiap ada janji dengan pacar dengan jantung berdebar. Menanti pujian dengan rasa berdebar.

Bercinta dengan rasa, jantung, dada, hati, tangan, kaki, payudara, vagina, leher, punggung, ketiak, mata, hidung, mulut, pipi, raga, berdebar.

Yang terlupakan adalah waktu yang mengalir dalam lautan debar, samudera getar, cakrawala harapan.


Mungkin Nayla tidak bermaksud dengan sengaja melupakan, ia hanya tidak sadar. Ia hanya pingsan keletihan dan belum jua siuman. Ia hanya terhipnotis bandul jam yang bergerak kiri kanan dan berdetak dalam keteraturan.

Membuat raganya beku. Lidahnya kelu. Hatinya membatu. Imajinasinya buntu.

Kadang dalam tidur, imajinasinya memberontak terbang. Mengepakkan sayap bersama burung-burung dan kupu-kupu. Mengendarai ikan paus di samudera lepas. Bungy jumping. Arung jeram. Baca komik Petualangan Tintin.

Minum teh di atas awan sambil berdiskusi tentang cerpen Anton Chekov dengan almarhum Ayah dan bertanya mana yang lebih mahal, antara berlian dengan fancy diamond kepada almarhumah Ibu. Menjadi Arnold Schwarzeneger dan menggagalkan aksi teroris yang hendak menabrakkan pesawat ke gedung World Trade Center.

Menelan biji durian. Makan rambutan. Nonton Cirque du Soleil. Nonton N’SYNC dan dipanggil ke atas panggung untuk diberi kecupan oleh Justin Timberlake. Bertinju dengan Mohammad Ali. Mengalahkan Michael Jordan. Merebut suami Victoria Beckham. Mengedit karya Gabriel Garcia Marquez. Diculik UFO. Punya toko buku kecil di Taman Ismail Marzuki. Baca puisi bareng Presiden Penyair Sutardji Calzoum Bachri. Melaju kencang ke pusat getaran yang mendebarkan.

Tapi mimpi juga terbatas waktu. Debaran itu mendadak buyar ketika terdengar suara ketukan pembantu di pintu kamar. Suara kokok ayam jantan. Kicau burung. Kemilau sinar matahari menerobos jendela. Dan suara alarm jam ketika jarum panjang menunuk angka dua belas dan jarum pendek menunjuk angka enam.

Suara alarm itu adalah suara yang sama dengan suara dokter yang menyampaikan bahwa sudah terdeteksi sejenis kanker ganas pada ovariumnya. Suara alarm itu adalah suara yang sama dengan suara dokter yang memvonis umur Nayla hanya akan bertahan maksimal satu tahun ke depan.

Suara alarm itu adalah suara yang sama dengan suara dokter yang mengatakan bahwa sudah tidak ada harapan untuk sembuh. Suara alarm itu adalah suara yang menyadarkannya kembali dari pengaruh hipnotis bandul waktu masa lalu, masa kini dan masa depan.


Manusia sudah menerima hukuman mati tanpa pernah tahu kapan hukuman ini akan dilaksanakan. Karena itu Nayla tidak tahu mana yang lebih layak, merasa terancam atau bersyukur.

Di satu sisi ia sudah tidak perlu lagi bertanya-tanya kapan eksekusi akan dilaksanakan. Tapi apakah setahun yang dokter maksudkan adalah 12 bulan, 52 minggu dan 365 hari dari sekarang? Bagaimana kalau satu tahun dimulai dari ketika kanker itu baru tumbuh.

Atau satu minggu sebelum Nayla datang ke dokter.

Atau mungkin benar-benar pada detik ketika dokter itu mengatakan satu tahun. Lalu berapa lamakah waktu sudah terbuang? Dari manakah Nayla harus mulai menghitung?

Mata Nayla berkunang-kunang. Perutnya mulai terasa sakit seiring dengan bunyi dari segala bunyi jam, berdetak keras memekakkan telinganya.

Satu, sepuluh, seratus, seribu, sepuluh ribu, seratus ribu, sejuta detik mengejar dan mengepung pendengarannya ke mana pun Nayla melangkah.

Memaksa mata Nayla menyaksikan lalu lalang kaki-kaki bergegas, suara klakson dari pengendara yang tak sabaran, lonceng tanda masuk sekolah, jutaan tangan karyawan memasukkan kartu ke dalam mesin absen, aksi dorong-mendorong masuk ke dalam bus, tubuh-tubuh meringkuk di atap kereta api, semua orang tidak mau ketinggalan.

Semua orang harus tepat waktu sampai di tujuan.

Semua orang tidak lagi punya kesempatan untk sekadar berhenti memandang embun sebelum menitik ke tanah.

Matahari bersinar tidak terlalu cerah.

Awan berbentuk mutiara, Semar atau gajah. Kelopak bunga mulai merekah. Kaki anjing pincang sebelah. Semut terinjak-injak hingga lebur dengan tanah. Padi menguning di sawah. Burung bercinta di atap rumah. Semua orang melangkah bagai tidak menjejak tanah.

Sejak saat itu, alarm Nayla tidak pernah berhenti berbunyi.


Nayla ingin menunda waktu. Nayla ingin mengulur siang hingga tidak kunjung tiba malam. Nayla ingin merampas bulan supaya matahari selalu bersinar. Nayla ingin menghantamkan palu ke arah jam sehingga suara alarmnya bungkam. Nayla ingin menunda kematian.

Tapi Nayla selalu terlambat. Nayla selalu berada di pihak yang lemah dan kalah akan rutinitas yang tak mau menyerah. Dan ia mulai merasa kewajibannya sebagai beban. Ia mulai cemburu pada orang-orang yang masih dapat berjalan santai sambil berpegangan tangan.

Atau orang-orang yang berjemur di tepi kolam renang sambil membaca koran. Ketika ia tergesa-gesa menyiapkan air hangat, sarapan dan seragam.

Berdasarkan di antara hiruk pikuk suara dan keringat dalam pasar. Memastikan pendingin ruangan belum saatnya dibersihkan. Membayar iuran telepon dan listrik bulanan. Memberi makan ikan. Memberi peringatan berkali-kali kepada pembantu yang tidak juga mengerjakan perintah yang sudah diinstruksikan. Mengikuti senam seks dan kebugaran. Menjadi pendengar yang baik bagi suami yang berkeluh kesah tentang pekerjaan.

Memutar otak untuk memenuhi kebutuhan sandang pangan dalam sebulan. Menyimpan kekecewaan ketika anak sudah tidak lagi mau mengikuti nasihat yang seharusnya diindahkan.

Dan masih saja ada yang kurang. Masih ada saja yang tidak sempurna. Sarang labah-labah di atas plafon. Terlalu banyak menggunakan jasa telepon. Buah dada yang mulai mengendur. Vagina yang tidak lagi lentur. Terlalu letih hingga tidur mendengkur. Seragam sekolah yang luntur. Kurang becus mengatur keuangan. Terlalu banyak pemborosan. Kurang perhatian. Kurang peka. Kurang waktu…

Waktu…

Waktu…

Waktu…

Waktu……….?

Bahkan Nayla merasa sudah tidak punya waktu untuk sekadar memanjakan perasaan. Tidak nongkrong bersama teman-teman. Tidak belanja perhiasan. Tidak pergi ke klab malam. Tidak dalam sehari membaca buku lebih dari dua puluh halaman.

Tidak lagi nonton film layar lebar di studio Twenty One. Tidak lagi mengerjakan segala sesuatu yang baginya dulu merupakan kesenangan.

Nayla mulai merasakan dadanya berdebar. Semangatnya bergetar. Ia ingin menampar suaminya jika membela anaknya yang kurang ajar. Ia ingin bersendawa keras-keras di depan mertua dan ipar-ipar.

Ia ingin ngebut tanpa mengenakan sabuk pengaman.

Ia ingin mewarnai rambutnya bak Dennis Rodman.

Ia ingin berjemur di pantai dengan tubuh telanjang.

Ia ingin mengatakan ia senang bercinta dengan posisi dari belakang.

Ia ingin memelihara anjing, kucing, babi, penguin, panda dan beruang, masing-masing satu pasang.

Ia ingin berhenti minum jamu susu perut dan sari rapet.

Ia ingin makan soto Betawi sekaligus dua mangkok besar.

Ia ingin berhenti hanya makan sayur dan buah-buahan waktu malam.


Apa yang sedang mengkhianati dirinya sehingga ia merasa sama sekali tidak bersalah atas debaran di dadanya yang begitu memukau? Apa yang sedang memberi pengakuan sehingga ia merasa begitu lama membuang-buang waktu? Apakah hidup diberikan supaya manusia tidak punya pilihan selain berbuat baik? Dan mengapa pertanyaan ini baru datang ketika sang algojo waktu sudah mengulurkan tangan?

Mungkin hidup adalah ibarat mobil berisikan satu tangki penuh bahan bakar. Ketika sang pengendara sadar bahan bakarnya sudah hampir habis, ia baru mengambil keputusan perlu tidaknya pendingin digunakan, untuk memperpanjang perjalanan, untuk sampai ke tujuan yang diinginkan.

Nayla memacu laju mobilnya semakin kencang. Memburu kesempatan untuk bersimpuh memohon pengampunan atas dosa-dosa yang Nayla sesali tidak sempat ia lakukan, sebelum jam tangannya berubah jadi sapu, mobil sedannya berubah jadi labu, dan dirinya berubah jadi abu….


Cerita pendek di atas ditulis oleh Djenar Maesa Ayu di Jakarta pada 4 Maret tahun 2002 dan diterbitkan oleh Kompas. Mudah-mudahan dengan adanya pembulikasian ulang ini dapat mempermudah pembaca yang hendak mencari karya-karya yang diciptakan oleh Agus Noor.

Bila ada hal yang hendak ditanyakan, mari diskusikan bersama melalui kolom komentar.

0

Posting Komentar

Mari berdiskusi... Ajukan pertanyaan ataupun pendapat kalian dengan sopan. Hindari penggunaan kata-kata kasar, SARA dan ujaran kebencian.